PEMBACAAN AL-QUR’AN DALAM TRADISI ACARA MAPPANRE TEMME’ (KHATAM AL-QUR’AN) Studi Living Qur’an pada Masyarakat Bugis di Kaltim
Abstract
Fenomena pembacaan Al Qur’an di tengah-tengah masyarakat Islam adalah
sebagai sebuah apresiasi dan respons umat Islam terhadap kitab sucinya. Bagi umat
Islam, al-Qur’an bukan hanya sebagai kitab suci (scripture) dan kitab petunjuk
(aspek informative) tetapi juga sebagai kitab yang masih tetap hidup, yang kemudian
melahirkan tradisi di tengah-tengah masyarakat Islam sebagai bentuk permormative
(performasi), yang kemudian dikenal dalam kajian al-Qur’an istilah living Qur’an
(al-Qur’an yang hidup). Salah satu bentuk aspek permative (perpormasi) al-Qur’an di
masyarakat Islam adalah tradisi mappanre temme aqorang pada masyarakat Bugis di
bumi Etam Kaltim.
Kajian ini ingin mengungkapkan eksistensi tradisi Mappanre Temme bagi
Masyarakat Bugis di Bumi Etam Kaltim, makna simbolik dalam tradisi ini dan
dimensi nilai-nalai yang terkandung di dalam. Selain itu kajian ini ingin mengungkap
pergeseran tradisi mappanre temme di tengah pulralitas budaya di Kaltim.
Kajian ini menggunakan pendekatan sosialogis-antroplogis dengan teori
interpretatif simbolik Clofford Geerzt dengan teknik pengumpulan data melalui
observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi.
Kajian ini ditemukan bahwa acara ritual mappanre temme aqorang adalah
merupakan warisan budaya Bugis yang mengekspresikan kebudayaan masyarakat
Bugis di Bumi Etam Kaltim yang relegius. Prosesi tradisi mappanre temme dengan
segala pernak pernik yang menjadi bahan dan alat dalam prosesi tradisi ini memiliki
makna simbolik yang dalam, misalnya sokko (nasi ketan) dengan dua warna yang
memberi makna pertemua air dan tanah sebagai simbol dari sokko pute (puti) sebagai
lambang tanah dan sokko bolong (hitam) sebagai lambag air. Demikian juga bahan
gula merah dan kelapa yang menggambarkan perpaduan gula merah dan kelapa
memberi sebuah kenikmatan sendiri sementara gula lambang manis yang
mengandung makna macenning yang semakna dengan ikhlas. Jadi keduanya sebagai
simbol kenikmatan dan keihlasan. Dengan demikian, makna simbol ini melahirkan
nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat yaitu nilai ibadah berupa rasa syukur, sosial
kemasyarakat berupa silaturrahmi dan kegotong royongan. Di samping itu, tradisi
mappanre temme bagi masyarakat Bugis di Bumi Etam Kaltim di tengah
peergyumulan dengan budaya lokal lainnya mengalami pergeseran dengan beberapa
faktor di antanya: faktor perkembangan teknologi, adanya metode baru
pembelajaran al-Qur’an, dan adaptasi dengan budaya lokal lainnya
Collections
- Laporan Penelitian [46]