Show simple item record

dc.contributor.authorMursalim, mursalim
dc.date.accessioned2023-04-12T02:31:22Z
dc.date.available2023-04-12T02:31:22Z
dc.date.issued2021-08-08
dc.identifier.urihttp://repository.uinsi.ac.id/handle/123456789/2703
dc.description.abstractFenomena pembacaan Al Qur’an di tengah-tengah masyarakat Islam adalah sebagai sebuah apresiasi dan respons umat Islam terhadap kitab sucinya. Bagi umat Islam, al-Qur’an bukan hanya sebagai kitab suci (scripture) dan kitab petunjuk (aspek informative) tetapi juga sebagai kitab yang masih tetap hidup, yang kemudian melahirkan tradisi di tengah-tengah masyarakat Islam sebagai bentuk permormative (performasi), yang kemudian dikenal dalam kajian al-Qur’an istilah living Qur’an (al-Qur’an yang hidup). Salah satu bentuk aspek permative (perpormasi) al-Qur’an di masyarakat Islam adalah tradisi mappanre temme aqorang pada masyarakat Bugis di bumi Etam Kaltim. Kajian ini ingin mengungkapkan eksistensi tradisi Mappanre Temme bagi Masyarakat Bugis di Bumi Etam Kaltim, makna simbolik dalam tradisi ini dan dimensi nilai-nalai yang terkandung di dalam. Selain itu kajian ini ingin mengungkap pergeseran tradisi mappanre temme di tengah pulralitas budaya di Kaltim. Kajian ini menggunakan pendekatan sosialogis-antroplogis dengan teori interpretatif simbolik Clofford Geerzt dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Kajian ini ditemukan bahwa acara ritual mappanre temme aqorang adalah merupakan warisan budaya Bugis yang mengekspresikan kebudayaan masyarakat Bugis di Bumi Etam Kaltim yang relegius. Prosesi tradisi mappanre temme dengan segala pernak pernik yang menjadi bahan dan alat dalam prosesi tradisi ini memiliki makna simbolik yang dalam, misalnya sokko (nasi ketan) dengan dua warna yang memberi makna pertemua air dan tanah sebagai simbol dari sokko pute (puti) sebagai lambang tanah dan sokko bolong (hitam) sebagai lambag air. Demikian juga bahan gula merah dan kelapa yang menggambarkan perpaduan gula merah dan kelapa memberi sebuah kenikmatan sendiri sementara gula lambang manis yang mengandung makna macenning yang semakna dengan ikhlas. Jadi keduanya sebagai simbol kenikmatan dan keihlasan. Dengan demikian, makna simbol ini melahirkan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat yaitu nilai ibadah berupa rasa syukur, sosial kemasyarakat berupa silaturrahmi dan kegotong royongan. Di samping itu, tradisi mappanre temme bagi masyarakat Bugis di Bumi Etam Kaltim di tengah peergyumulan dengan budaya lokal lainnya mengalami pergeseran dengan beberapa faktor di antanya: faktor perkembangan teknologi, adanya metode baru pembelajaran al-Qur’an, dan adaptasi dengan budaya lokal lainnya.en_US
dc.publisherLP2M UINSI Samarindaen_US
dc.subjectKhatam Alquran "Mappanre Temme"en_US
dc.titlePEMBACAAN AL-QUR’AN DALAM TRADISI ACARA MAPPANRE TEMME’ (KHATAM AL-QUR’AN) Studi Living Qur’an pada Masyarakat Bugis di Kaltimen_US
dc.typeArticleen_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record