PROBLEMATIKA PENERAPAN SANKSI HUKUM TERHADAP PELANGGAR SISTEM JAMINAN HALAL DI SAMARINDA
Abstract
Iwan Wahyudi, NIM 14.1202.0043, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Jurusan Muamalah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda, dengan judul “Problematika Penerapan Sanksi Hukum Terhadap Pelanggar Sistem Jaminan Halal di Samarinda”. Skripsi. Penelitian ini dibimbing oleh Bapak H. Murjani, S.Ag., S.H., M.H. selaku dosen pembimbing pertama dan Bapak Suwardi Sagama, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing kedua.
Kasus-kasus pelanggaran sistem jaminan halal yang sering terjadi yaitu pencantuman label halal yang tidak memiliki sertifikat halal. Hal ini banyak kita jumpai di lingkungan sekitar kita, terutama di Samarinda, dengan mencantumkan label resmi MUI atau dengan menggunakan kata-kata “Halal 100%”, “Halalan Thayyiban”, dan lain-lain tanpa disertai dengan sertifikat halal dari lembaga yang berwenang atas itu. Hal tersebut sebenarnya sudah masuk dalam delik pidana umum, yaitu penipuan, dan dapat dipidana sesuai undang-undang yang berlaku. Latar belakang masalah pada penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana problematika penerapan sanksi hukum terhadap pelanggar sistem jaminan halal. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana problematika penerapan sanksi hukum terhadap pelanggar sistem jaminan halal di Samarinda.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan kata lain penelitian hukum sosiologis atau penelitian lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara pada pihak LPPOM MUI Kalimantan Timur dan pemilik usaha yang terindikasi melanggar sistem jaminan halal.
Dari hasil penelitian, bahwasanya implementasi sanksi hukum yang berlaku pada sistem jaminan halal belum terlaksana dengan baik. Hal ini terjadi karena beberapa faktor penyebab, yaitu: Pertama, secara implementasi, Undang–Undang Nomor 33 Tahun 2014 tersebut belum berlaku secara efektif. Kedua, secara institusional bahwa lembaga yang berwenang menurut Undang-Undang Jaminan Produk Halal, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), baru saja terbentuk pada tahun 2017 dan belum terbentuk pada provinsi-provinsi. Hal ini yang menyebabkan LPPOM MUI masih berwenang dalam melaksanakan proses sertifikasi halal sesuai dengan aturan yang lama. Ketiga, ketiadaan peraturan pelaksana UU JPH. Ketiadaan peraturan pelaksana ini bisa berimbas pada implementasi UU JPH.