Fenomena Taukil Wali Saat Akad Nikah Menurut Pandangan Ulama di Kota Samarinda
Abstract
ABSTRAK
Winda Khairunnisa Rahmawati, 2024, “Fenomena Taukil Wali Saat Akad Nikah Menurut Pandangan Ulama di Kota Samarinda”. Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga, Jurusan Ilmu Syariah, Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda. Penelitian ini dibimbing oleh Dr. H. Ashar Pagala, M.H. selaku pembimbing I dan Hj. Vivit Fitriyanti, M.S.I. selaku pembimbing II.
Pada dasarnya wali nasab terutama ayah kandung memiliki tugas ataupun tanggung jawab untuk menikahkan putrinya. Akan tetapi, di kalangan masyarakat Kota Samarinda kedudukan wali hanya dijadikan formalitas belaka, dikarenakan wali yang tidak memanfaatkan hak kewaliannya secara maksimal dalam akad nikah. Yang mana ketika menikahkan putrinya mereka lebih memilih untuk mewakilkannya kepada tokoh agama. Oleh karena itu, yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya taukil wali di kota Samarinda. Kedua, untuk mengetahui pandangan ulama mengenai faktor yang melatarbelakangi terjadinya taukil wali di Kota Samarinda. Ketiga, untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap faktor yang melatarbelakangi terjadinya taukil wali saat akad nikah.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan jenis penelitian kualitatif deskriptif, dengan pendekatan normatif dan sosiologis. Sumber data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara dengan wali yang melakukan taukil wali, Kepala KUA, dan Ulama. Adapun data sekunder berupa buku, al-Qur’an, hadis, skripsi, jurnal, dan lainnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian teknik analisis data meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pertama, faktor yang melatarbelakangi terjadinya taukil wali nikah di Kota Samarinda disebabkan karena faktor adanya niat berupa nadzar dan merasa dirinya tidak adil (fasiq), serta faktor ta’dzim kepada tokoh agama. Kedua, menurut pandangan ulama di Kota Samarinda bahwa bagi wali bagi yang memiliki nadzar jika anaknya menikah akan diwakilkan kepada ulama diwajibkan untuk ditunaikan. Bagi wali yang merasa dirinya kurang adil dimana terdapat satu informan yang menyatakan bahwa wali nikah harus adil,sedangkan empat informan menyatakan wali yang tidak adil diperbolehkan menjadi wali nikah. Kemudian pada faktor ta’dzim, para informan sependapat bahwa tidak masalah jika seseorang mewakilkan hak kewaliannya kepada tokoh agama. Namun, harus dapat dipertimbangkan kembali karena wali nasablah yang paling berhak untuk menjadi wali nikah. Ketiga, tinjauan hukum Islam dalam hal taukil wali nikah yang disebabkan oleh nadzar wajib untuk ditunaikan karena merupakan janji yang baik dimana pernikahan merupakan ibadah dan tidak melanggar syariat sebagaimana terdapat pada surat alInsan ayat 7 mengenai perintah untuk menepati janji. Lalu, terdapat perbedaan pendapat mengenai keabsahan wali nikah yang tidak adil (fasiq), menurut mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan sah nikah dengan wali yang tidak adil (fasiq), sedangkan menurut mazhab Syafi’i mensyaratkan wali itu harus adil dan tidak sah wali nikah orang yang tidak adil (fasiq) sehingga wali harus mewakilkannya. Kemudian, mengenai ta’dzim ketika seseorang yang menyerahkan wewenangnya kepada ulama dengan berharap keberkahan dari ulama dengan menjadikannya sebagai wakil boleh dilakukan tetapi lebih afdholnya wali nasab sendiri yang menikahkan karena menjadi wali nikah merupakan tanggung jawab bagi orang tua.