Eksistensi Manajemen Kurikulum 2013 (K13) Di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs.N) Model Samarinda
Abstract
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagaman, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.1 Agar menjadi pribadi yang memiliki
kekuatan spritual keagaman, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara, maka masyarakat memerlukan yang namanya lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan berfungsi sebagai wadah bagi masyarakat untuk
memperoleh pendidikan yang layak guna mewujudkan tujuan dari pendidikan itu
sendiri.
Dalam suatu lembaga pendidikan, proses pendidikan tidak dapat
diterapkan begitu saja melainkan diperlukannya suatu perancanaan yang matang
dan kompleks terlebih dahulu yang di mana perencanaan ini disebut dengan
kurikulum. Kurikulum menurut bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kurikulum dalam arti sempit dan kurikulm dalam arti luas yang di mana arti secara sempit adalah sebagai sejumlah mata pelajaran yang diberikan di sekolah,
sedangkan arti secara luas adalah semua pengalaman belajar yang diberikan
sekolah kepada siswa, selama mereka mengikuti pendidikan di sekolah itu.2
Secara istilah, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.3 Maka dari pada itu, dapat dipahami bahwasanya untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, maka diperlukanlah kurikulum yang di mana kurikulum ini
memiliki peran sentral sebagai pengatur, pengarah, dan pedoman bagi suatu
lembaga untuk menentukan langkah apa saja yang harus dilakukan.
Berbicara mengenai kurikulum, di negaara kita Indonesia beberapa tahun
sebelumnya hingga saat ini masih hangat berbincang mengenai transisi kurikulum
yang di mana kurikulum 2006 bertransisi menjadi Kurikulum 2013
(K13/KURTILAS). Transisi kurikulum ini menuai banyak pihak pro dan pihak
kontra di masyarakat. Adapun pihak masyarakat yang memilih pro berargumen
bahwasanya K13 memiliki visi yang bagus dalam perkembangan pendidikan. Hal
ini dapat terlihat dengan membandingkan kedua kurikulum tersebut. Pada
Kurikulum 2006 yang di mana dalam pelaksanaannya lebih dominan untuk
meningkatkan intelektual peserta didik (Aspek Kognitif), sehingga banyak generasi muda yang lahir dengan otak yang cerdas namun tidak diimbangi dengan
akhlak yang pantas. Sedangkan pada K13, dalam implementasinya terfokus untuk
bagaimana caranya menyeimbangkan antara spiritual, emosional, intelektual, dan
keterampilan. Sehingga diharapkan dengan dilaksanakannya K13 ini akan
melahirkan generasi bangsa yang beriman, santun, cerdas, dan terampil.
Adapun pihak masyarakat yang kontra pada implementasi
K13 cenderung berasal dari tenaga pendidik di Indonesia, salah satu penyebabnya
adalah rumitnya sistem penilaian pada K13 yang di mana pendidik bukan hanya
memberi nilai berupa angka namun juga harus memberikan nilai berupa huruf
beserta deskriptif mengenai bagaimana perilaku peserta didik selama mengikuti
mata pelajaran di kelas. Selain dari kalangan pendidik, kontra juga diberikan oleh
orang tua atau wali murid yang di mana mereka merasa kasihan melihat anaknya
yang harus belajar begitu ekstra di usia yang masih dini. Kontra dari wali murid
ini rata-rata merupakan wali murid yang di mana anaknya masih berada di bangku
sekolah dasar dengan kurikulum 2013 yang menggunakan konsep pembelajaran
tematik.
Sesungguhnya pemerintah telah berupaya untuk mengatasi permasalahanpermsalahan mengenai K13 dengan melakukan sosialisasi dan pelatihan serta
dengan melakukan revisi kurikulum. Adapun hasil revisi kurikulum 2013 (K13)
yaitu salah satunya adalah penyederhanaan aspek penilaian siswa yang akan
dilakukan oleh guru. pada revisi ini, penilaian sosial dan keagamaan siswa cukup dilakukan oleh guru PKN dan guru pendidikan agama-budi pekerti. Sementara
guru mata pelajaran lainnya, cukup menilai aspek akademik sesuai bidang yang
diajarkan saja.4
.
Pergantian kurikulum ini bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia, karena
sebelumnya pendidikan di Indonesia sudah pernah melakukan pergantian
kurikulum dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diselenggarakan
pada tahun 2004, menjadi Kurikulum 2006 yang diselenggarakan pada tahun
2006. Setelah berjalan kurang lebih 6 tahun, Kurikulum 2006pun diganti dengan
K13 yang di mana K13 ini adalah penyempurna dari kurikulum sebelumnya.
Fenomena pergantian kurikulum merupakan fenomena yang wajar dalam
dunia pendidikan. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dan
untuk mengikuti perkembangan jaman, maka kurikulum juga harus berkembang
agar mampu menciptakan generasi yang bermoral dan berintelektual serta mampu
bersaing di tingkat internasional. Karena itulah, lembaga pendidikan atau sekolah
dituntut untuk mampu mengikuti dan melaksanakan perkembangan kurikulum
yang suatu saat dapat berkembang dan berubah.
Berbicara mengenai implementasi K13 di suatu lembaga pendidikan,
peneliti sendiri memiliki pengalaman mengenai implementasi K13 ketika
bertugas Praktik Kerja Lapangan (PKL) di MadrasahTsanawiyah Negri (MTs.N) Model Samarinda. MTs.N Model Samarinda ialah salah satu sekolah unggul yang
berada di Samarinda yang di mana K13 sudah diterapkan sejak tahun 2014 silam.
Dari Segi pelayanan, pengelolaan, serta sarana dan prasarana, MTs.N Model
Samarinda dapat dikatakan lebih dari cukup untuk mengimplementasikan
Kurikulu 2013.